Headline

Featured Posts

21 Maret 2009

Etika Bisnis

IMPLEMENTASI ETIKA BISNIS
Agus Maylantyas H

1. Kedudukan konsumen pada dasarnya adalah lebih lemah bandingkan pelaku bisnis (produsen atau pedagang) konsumen tidak mengetahui secara pasti karakteristik kualitas barang yang dibelinya atau jasa yang digunakannya. Kelemahan ini sering digunakan oleh pelaku bisnis yang tidak bertanggung jawab untuk menjual barang yang secara tersembunyi, atau menggunakan timbangan yang palsu. Ini berarti pihak konsumen dirugikan oleh pelaku bisnis. Oleh karena itu berlakulah maksim: Konsumen, berhati-hatilah!
Dengan keberadaan UU No.8/1999 yang mulai berlaku sejak 20 April 2000, semestinya pihak konsumen mendapat perlindungan dari berbagai bentuk kecurangan dan penipuan.
UU ini memberikan sembilan macam hak kepada konsumen, antara lain hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pelaku bisnis harus beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, menjamin mutu barang dan/atau jasa, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/ atau jasa, dan memberi penjelasan tentang penggunaan, per¬baikan, dan pemeliharaan barang. Di samping itu, pelaku bisnis juga dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang di¬persyaratkan, tidak sesuai dengan berat atau isi bersih, tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah, tidak sesuai dengan kondisi, mutu, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label.
Pengawasan terhadap perlindungan konsumen ini dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk BPKN (Badan Per¬lindungan Konsumen Nasional), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap kabupaten/kota, Serta lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Lembaga per¬lindungan konsumen swadaya masyarakat yang sudah lama berdiri adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang sudah banyak melakukan kegiatan, termasuk analisis mutu barang makanan dan minuman yang ada di pasar.
BPSK dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa pe¬netapan ganti rugi maksimal Rp200.000.000,00. Pelaku usaha yang diduga melakukan, pelanggaran juga bisa diajukan ke pengadilan. Apabila pelanggaran itu terbuti, pelaku usaha diancam hukuman pidana, penjara antara dua sampai lima tahun atau pidana denda antara Rp500.000.000,00 sampai Rp2.000.000.000,00. Jadi sanksinya termasuk berat. Oleh karena itu, barangkali kini yang berlaku adalah maksim: Berhati-hatilah pelaku usaha!
2. Ketahanan ekonomi Indonesia yang menjadi amat rapuh dan bermuatan pada krisis multidimensional adalah akibat dari hubungan yang kolusif dan koruptif antara elite politik serta birokrasi dan konglomerat tertentu. Ini berarti kehidupan ekonomi dan bisnis harus ditata kembali agar dunia dapat tumbuh dan berkembang dalam iklim usaha yang sehat.
Untuk mencapai tujuan itu, praktik monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, kartel, trust, dan sejenisnya harus ditentang dan dilarang karena sangat merugikan masyarakat dan negara. Itulah sebabnya lahir UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mulai berlaku 5 Maret 2000.
Ada sepuluh perjanjian yang dilarang, yaitu oligopoli; penetapan harga; pembagian wilayah; pemboikotan; kartel; oligopsoni; integrasi vertikal; perjanjian tertutup; dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Di samping itu terdapat empat kegiatan yang dilarang, yaitu monopoli; monopsoni; penguasaan pasar; dan persekongkolan. Pelaku usaha juga dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Pelarangan ini berlaku apabila barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang atau jasa yang sama; seorang atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan, secara langsung maupun tidak langsung. Pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila seorang atau sekelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini pemerintah telah membentuk KPPU sebagai badan yang bersifat independen dan bertanggung jawab pada Presiden. Untuk mengetahui adanya pelanggaran, UU memberi peluang kepada setiap pihak yang dirugikan untuk melaporkan secara tertulis kepada KPPU. KPPU wajib melakukan pemeriksaan dalam waktu paling lama 30 hari. KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran berupa pembatalan perjanjian, penghentian kegiatan, penghentian penyalahgunaan posisi dominan, pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilan saham, pembayaran ganti rugi, dan/atau denda minimal Rp1.000.000.000,00 dan maksimal Rp25.000.000.000,00. Selain itu, pelanggaran terhadap Pasal 4, Pasal 9-14, Pasal 16-25, Pasal 27 dan 28 diancam dengan pidana denda minimal Rp25.000.000.000,00 dan maksimal Rp100.000.000.000,00 dan pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya enam bulan. Bahkan pelanggar bisa juga dijatuhi sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; atau larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun; atau penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan tim-bulnya kerugian pada pihak lain.
3. Kegiatan bisnis tidak selalu bersih dari unsur kejahatan, jadi ada kemungkinan terjadi praktik bisnis ilegal dalam berbagai bentuk, seperti penipuan, pemalsuan, penyuapan, penyelundup¬an, perjudian, prostitusi, pencucian uang, perdagangan ma¬nusia, senjata, narkoba. Tindak pidana pencucian uang makin merebak akhir-akhir ini, bahkan ditengarai digunakan sebagai sumber dana untuk membiayai terorisme. Praktik bisnis ini sangat merugikan masyarakat dan negara, bahkan merusak sendi-sendi perekonomian negara dan citra bisnis itu sendiri. Oleh karena itu setiap negara dan masyarakat harus mempunyai komitmen yang kuat untuk memberantasnya, termasuk melalui kerja sama internasional.
Upaya untuk memberantas pencucian uang secara inter¬nasional sudah diupayakan melalui FATF. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam NCCTs. Secara regional, wilayah Asia Pasifk telah membentuk APG, dan lndonesia adalah salah satu anggotanya. Banyak negara lain yang membentuk badan khusus untuk menangani masalah pencucian uang ini, seperti FinCen di Amerika Serikat, AMLO di Thailand, FINTRAC di Kanada, AUSTRAL di Australia. Indone¬sia mempunyai PPATK, yang dibentuk berdasarkan atas UU NO.15/2002. Pada dasarnya PPATK bertugas mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperolehnya; melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada ke-polisian dan kejaksaan; serta memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya setiap enam bulan kepada PresideN, DPR, dan lembaga yang ber¬wenang melakukan pengawasan terhadap PJK. Dunia inter¬nasional masih menyoroti UU No. 15/2002 karena berdasar ketentuan FATF undang-undang ini masih mempunyai beberapa kelemahan. Oleh karena itu, undang-undang ini di¬amandemen menjadi UU No.25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan adanya undang-undang yang baru dan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dila¬kukan secara lebih intensif dan sistematis, Indonesia diharapkan dapat keluar dari daftar negara yang tidak koperatif dan dapat menekan kerugian negara.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

2 komentar: on "Etika Bisnis"

David Pangemanan mengatakan...

MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku

Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk

menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku

Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi
dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar

terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini

sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen

Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan
mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675

Admin mengatakan...

terima kasih atas komentarnya.